CREATIVE TRC OF INDONESIA

Kamis, 03 Maret 2011


SEMINAR & WORKSHOP
Oleh: Mashari Ali

Setidaknya terdapat Empat pokok pemikiran yang masuk dalam pembahasana, yaitu:
  1. Peristilahan antara Seminar dengan Workshop
  2. Pembiayaan yang relatif mahal
  3. Mata acara (agenda kegiatan)
  4. Sebuah  usulan: Model seminar murah

  1. Tataran Konsep
Untuk mendudukan persoalan sebaiknya kita lihat dulu pemaknaan harfiahnya. Workshop adalah pelatihan kerja, yang meliputi teori dan praktek dalam satu kegiatan terintegrasi.

Sedangkan Seminar umumnya diartian sebagai sebuah diskusi dua arah. Seminar adalah sebuah tempat untuk menggodok ide. Ia bukanlah tempat untuk membenarkan diri. Setiap orang harus kritis namun menerima bila ada pendapat yang lebih baik. Di dalam seminar semua orang memiliki posisi yang sama. Sebuah seminar yang baik tidaklah harus menghasilkan sebuah kesimpulan tunggal. Setiap orang bisa pulang dengan pendapatnya masing-masing. Yang terpenting adalah mata mereka lebih terbuka, mereka telah melihat ide-ide baru yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka.

Dengan memperhatikan uraian diatas, maka menurut hemat Penulis, aktivitas tahunan yang sering dilakukan PARI lebih tepat disebut Seminar daripada Workshop.

2. Tataran Realita
Sebagaimana disadari oleh Hariri sendiri yang kemudian dikuatkan oleh Bang Buyek bahwa pengambilan istilah itu ---dibaca:Workshop-Pen---adalah aspirasi dari para Anggota PARI. Namun dalam pandangan Hariri, hal ini merupakan  bentuk kebohongan publik yang semestinya tidak dilakukan oleh PARI. Disebut bohong, mengingat faktanya menunjukkan bahwa kegiatan yang dilangsungkan selama ini cenderung lebih tepat dinamakan seminar ketimbang workshop. Sedang Bang Buyek ---seorang aktivis Pari Jaya---memandangnya, hal ini dilakukan tidak lebih sebagai strategi agar Institusi tempat anggotanya mengabdi dapat memfasilitasinya.

Kembali pada “Workshop” yang banyak diusulkan oleh para anggota PARI, dalam penelaahan Penulis memungkinkan munculnya dua pemahaman. Pertama, workshop yang boleh jadi keberadaannya memang sangat dinanti-nanti oleh para anggota PARI, yaitu benar-benar kegiatan workshop yang selain diskusi juga ada prakteknya (on hand).  

 Kedua, mungkin saja workshop sebagaimana diterangkan oleh Bang Buyek, yakni sekadar ‘pinjam’ istilah guna memudahkan proses birokrasi. Mengingat berdasarkan pengalaman beberapa institusi Diklat pada Rumah sakit lebih akan meloloskan karyawannya diikutkan dalam kegiatan workshop daripada cuma sebatas seminar. Mana yang benar? Masih harus dilakukan penggalian informasi lebih lanjut, harus dikembangkan dalam bentuk penelitian yang lebih sistematis dan terrencana.

Bagi Penulis, persoalan ini semestinya menjadi “PR” serius yang selayaknya ditindaklanjuti oleh yang kompeten, dalam hal ini PARI Departemen Litbang (adakah Departemen tersebut? Wallahu a’lam).

PEMBIAYAAN MAHAL
Mengambil sampel pada kegiatan yang akan diselenggarakan pada akhir bulan ini saja (Maret 2011), biaya pendaftaran termurah adalah yang diadakan oleh Pengda DKI seharga Rp 750.00,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) sedang termahal Pengda Jateng senilai Rp 1.250.00,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Munculnya angka tersebut sudah pasti telah melalui kalkulasi matang sebagai konsekwensi tuntutan layanan yang memuaskan. Diantaranya adalah tempat yang nyaman dan representatif, dalam hal ini biasanya menggunakan fasilitas hotel berbintang dan berkelas.
Untuk itu, menjadi menarik apa yang ditulis Ari Galuh de Jonge.

Biaya pendaftaran yang segede itu, tidak sebanding dengan pendapatan rata-rata radiografer muda yang bekerja di wilayah Jakarta. Informasi dari berbagai sumber terpercaya, diketahui gaji Radiografer pemula rata-rata hanya Rp 1.400.000,00 (Satu juta empat ratus ribu rupiah). Bila dipaksakan mengikuti acara tersebut dengan asumsi dana sendiri, yang bersangkutan dipastikan bakal tekor dan mengalami kesulitan dalam menyambung hidup di hari-hari selanjutnya, pasca mengikuti kegiatan PARI.

Tidak dipungkiri, memang, beberapa instansi ada yang bisa memperoleh sponsorship, bersyukurlah. Namun bila dibandingkan antara yang dapet dengan tidak, rasanya masih belum sepadan. Betapapun, kata Bung Hariri, kawan-kawan anggota PARI yang belum bernasib baik itu (gaji pas-pasan and minus sposorship) , mereka juga saudara kita yang memiliki hak dalam pengembangan wawasan dan keilmuan yang diselenggarakan oleh Profesi.  Hal yang demikian, menurut catatan Bung Hariri, menjadi “PR” berikutnya bagi PARI untuk bisa mencarikan solusi terbaiknya.

AGENDA ACARA

Pertanyaan kritis yang diajukan Bung Hariri adalah: lebih banyak kongkow-kongkow atau sesion ilmiah? Mayoritas komentator berpendapat, akan berpulang pada pribadi masing-masing peserta.

Dalam pengamatan dan pengalaman penulis selama mengikuti kegiatan PARI, sebenarnya PARI terlihat telah sungguh-sungguh berusaha maksimal memberikan yang terbaik. Parameter yang dipakai adalah jadwal acara yang sudah dicanangkan, menurut penilaian Penulis, relatif lebih dari cukup baik.

Dan patut disadari, mengakomodir aspirasi anggota yang berlatar belakang heterogen dalam sebuah kegiatan memang menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk tidak menyebut istilah sulit. Penggunaan tema-tema “dari pemeriksaan konvensional sampai imaging” kerap dipakai PARI, Penulis berpendapat merupakan upaya PARI supaya dapat menjembatani anggotanya dari yang masih gatek (gagap teknologi) oleh karena kondisi, maupun bagi peserta yang sudah lihai di ranah IT (Information Technology). Oleh karena itu, bagi Penulis, hal yang demikian sangat-sangat bisa dimaklumi.

Namun demikian, satu hal yang patut menjadi sorotan adalah kesiapan Nara Sumber (atau Panitia) dalam mendokumentasikan makalah yang akan dipresentasikan. Tahun 2004 (Seminar Nasional di Hotel Accacia-Jakarta) dan 2006 (Seminar Internasional di Hotel Grasia-Semarang) telah mampu menerbitkan sebuah modul/buku yang ditulis oleh pemateri lengkap dengan daftar  pustakanya (Penulis sangat apresiatif atas ikhtiar ini). Tetapi pada tahun 2010 (Seminar Nasional di Pekan Baru), mengalami penurunan kualitas yang sangat signifikan.

Penulis berani menyebut demikian, hal ini dengan indikasi diantaranya selain buku modul tidak ada (hanya copy CD Presentasi), Seminar Kit yang biasanya dimasukkan dalam tempat/tas cantik yang ekslusif (ada tertera cetakan yang mengabadikan jenis dan waktu kegiatan sebagai kenang-kenangan) di Riau tidak mampu mewujudkan. Disamping, tempat arena kegiatan yang berpindah secara mendadak  juga adanya beberapa mata acara yang mengalami perubahan dengan tanpa perhitungan matang (sorry ini penilaian subjektif Penulis, mudah-mudahan tidak keliru).

Nah, pola ketidakmatangan dan kecermatan Panitia dalam mengelola agenda acara akan menjadi celah bagi peserta untuk kongkow-kongkow. Walaupun pada dasarnya, sekali lagi kembali pada jati diri dan pribadi masing-masing peserta. Hanya saja, kalau Panitia bisa mengeliminir akan hal itu, kenapa tidak?

SEBUAH USULAN: Model Seminar Murah
Kegelisahan akan kebutuhan Seminar berbiaya murah sudah dirasakan sejak lama. Sehubungan dengan itu, Allahu yarham Nova Rahman (Pendiri situs ‘Tempat Nongkrongnya Radiografer se-Indonesia’) pada saat menjelang Seminar Nasional di Banten (2008) pernah menulis usulan konsep seminar radiologi berbiaya murah.

Lebih lengkap usulan beliau saya copy dari Site Radiografer.Net sebagai berikut:

1. Seminar Radiologi sebaiknya dilakukan per Pengda masing-masing.

2. Jika ada Pengda yang pengurusnya sedikit atau kurang aktif, bisa ikut serta di Pengda terdekat yang mengadakan seminar radiologi ini.

3. Untuk menghemat biaya, seminar diadakan di tempat yang cukup besar namun tidak mahal sewanya, seperti aula RS, aula kampus dsb.

4. Pembicara yang qualified dan capable di undang di Pengda yang mengadakan seminar tersebut (lebih murah mengundang pembicara, daripada semua peserta seminar se-Indonesia yang datang ke suatu tempat).

5. Seminar dilaksanakan seharian penuh (dari pagi sampai sore atau bahkan menjelang maghrib), ini dimaksudkan supaya waktunya bisa lama dan tidak ada pengeluaran extra untuk penginapan dan makan malam.

6. Sertifikat diberikan oleh Panitia penyelenggara dengan Mengetahui Ketua PARI Pusat, sehingga sertifikatnya bisa diakui secara nasional.

7. Jika pemberdayaan Pengda berjalan seperti ini, maka saya yakin setiap Pengda di Indonesia akan semakin kreatif untuk mengadakan acara dan kegiatan di Pengda nya masing-masing.

Demikian sekedar coretan yang berusaha merangkum diskusi yang mula-mula diprakarsai oleh Bung Hariri. Terimakasih kepada semua pihak yang telah turut berkontribusi. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan atau mengecilkan pihak manapun. Terhadap sisi positif yang telah dilakukan PARI kami mengucapkan terimakasih, bila ada yang kurang, kami menganggapnya sebagai peluang untuk lebih bisa berjuang. Kami bangga pada PARI, jayalah Radiografer Indonesia. Terimakasih.

Selasa, 01 Maret 2011

KOMPENSASI TUNJAGAN BAHAYA RADIASI (TBR)
BAGI PETUGAS YANG BEKERJA DI MEDAN RADIASI
Oleh:  Muhammad Naufal Hamdi Dipl.Rad.

Tunjangan Bahaya Radiasi (TBR) dewasa ini menjadi berita hangat dikalangan petugas yang bekerja di medan radiasi, karena ada kemungkinan upaya kenaiakan bahkan sudah dalam peroses dan kekhususan tunjagan ini dari kompensasi bagi tenaga penunjang medis dan pekerja radiasi di rumah sakit atau  Institusi yang mengunakan radiasi sebagai media untuk bekerja. Karna ruang lingkup KEPRES yang dianggap tidak menyeluruh hal ini terwujud hanya di Rumah Sakit atau fasilitas milik pemerintah (PNS), walaupun hal tersebut didukung oleh sebuah Keputusan Presiden RI dan dilanjutkan dengan dikeluarkanya SK Men.Kes. RI. masih banyak yang belum memberikan kompensasi tunjangan bahaya radiasi khususnya bagi pegawai swasta, BUMN dan Magang/Kontrak/Honorer Akan tetapi hal ini juga banyak di ikuti oleh sebagian Rumah Sakit Suwasta & klinik lainya di Indonesia yang mengerti akan Kepres dan SK tesebut, karena mereka menyadari akan pentingnya masalah ini dengan memberikan  kompensasi efek radiasi terhadap petugas yang bekerja di medan radiasi. Kami sadar karena ini sebuah konsekuwensi logis yang harus di jalani sebagai tenaga kesehatan, akan tetapi hal ini mungkin tidak sebanding dari efek yang diterima sehingga harus ditinjau kembali untuk disesuaikan guna adanya peningkatan, apalagi jangka waktu efek stokastik radiasi yang  timbul pada masa 2-30 tahun yang akan datang.

Radiasi bisa menyebabkan efek yang sangat parah. Untuk itu jangan pernah mengabaikan efek paparan radiasi. Pancaran gelombangnya punya daya tembus besar hingga mencapai organ dalam dalam waktu yang singkat. Paparan radiasi bisa sangat berbahaya karena dapat mengangganggu proses normal sel. Hanya paparan dosis rendah yang oleh tubuh masih dapat digantikan sel-selnya.

Sejarah mencatat efek radiasi paling besar adalah saat pesawat perang Amerika menjatuhkan bom nuklir di kota Hiroshima, Jepang pada 6 Agustus 1945. Saat itu diperkirakan 80.000 orang terbakar. Tapi dalam bulan-bulan berikutnya, ada 60.000 orang lainnya meninggal karena efek radiasi.

Begitu juga dengan ledakan reaktor nuklir di Chornobyl, Ukraina pada April 1986. Saat kejadian hanya dua pekerja yang tewas. Tetapi pada hari-hari berikutnya, lebih dari 30 nyawa terkena paparan radiasi. Bahkan Badan Tenaga Atom Internasional Chornobyl mengatakan sedikitnya 4.000 orang meninggal atau akan meninggal terkena kanker akibat radiasi. WHO memperkirakan 9.000 orang terkena penyakit akibat ledakan tersebut.

Seperti dikutip dari CBC, Senin (1/3/2010), semakin besar dosis paparan yang diterima seseorang, maka kemungkinannya untuk hidup akan semakin kecil. Penyebab kematian dalam banyak kasus adalah kerusakan sumsum tulang, yang menyebabkan infeksi dan pendarahan.

Paparan radiasi ini bisa berasal dari makanan, air, sinar matahari, tembakau, televisi, sinar-X, detektor asap, material bangunan dan scanner tubuh di bandara.

Dosis dari rongent sinar-X terlalu rendah untuk menyebabkan penyakit radiasi. Sedangkan dosis pengobatan kanker mungkin cukup tinggi untuk menyebabkan beberapa gejala penyakit radiasi. Emisi dari ponsel dan microwave juga rendah.

Penyakit radiasi atau dikenal sebagai sindrom radiasi akut (acute radiation syndrome/ARS) terjadi setelah terkena paparan radiasi dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat.

Gejala awalnya seperti iritasi kulit, mual, muntah, deman tinggi, rambut rontok dan kulit terbakar. Gejala lainnya adalah diare, lemah, lelah, kehilangan nafsu makan, pingsan, dehidrasi, peradangan jaringan, perdarahan dari hidung, mulut, gusi atau dubur dan anemia.

Orang yang terkena radiasi bisa mengalami ARS hanya bila terkena radiasi dosis tinggi. Gejala awal mulai terasa dalam hitungan menit atau hari setelah terkena paparan dan mungkin akan berkala. Tahap serius berlangsung beberapa jam atau beberapa bulan.

Orang yang keracunan radiasi biasanya menunjukkan kerusakan pada kulit setelah beberapa jam terkena paparan. Kerusakannya seperti bengkak, gatal-gatal dan kulit kemerahan seperti tersengat matahari.

Berikut tiga jenis radiasi pengion:

1. Radiasi sinar alpha Memiliki daya tembus paling kecil dan tidak berbahaya, kecuali jika tertelan. Partikel alpha diemisikan oleh inti radioaktif seperti uranium atau radium. Ketika terjadi peluruhan, inti melepaskan energi

2. Radiasi sinar beta. Dapat menembus kulit, menyebabkan kerusakan kulit dan kerusakan organ internal jika tertelan. Partikel beta memiliki energi yang besar, elektron dengan kecepatan tinggi atau positron yang diemisikan oleh inti radioaktif tertentu seperti potassium-40.

3. Radiasi sinar gamma Memiliki daya tembus sangat besar. Sinar gamma digambarkan sebagai cahaya dengan frekuensi dan energi tertinggi dalam spektrum elektromagnetik. Sinar gamma memiliki radiasi pengion berenergi tinggi sehingga menyebabkan kulit terbakar, melukai organ dalam dan menyebabkan efek jangka panjang.

Pengobatan pada penyakit radiasi dirancang hanya untuk meringankan tanda-tanda dan gejalanya. Hal ini tidak dapat membalikkan efek paparan radiasi.

Dokter mungkin menggunakan obat anti-mual dan obat penghilang rasa sakit untuk menghilangkan tanda-tanda dan gejala dan antibiotik untuk memerangi infeksi sekunder. Transfusi darah mungkin diperlukan untuk mengobati anemia.

Pada hakekatnya respon tubuh terhadap Efek Biologi akibat radiasi α β µ ataupun radiasi lainnya  berubah fungsi dan atau morfologi yang terdeteksi sebagai akibat pemberian dosis radiasi pada jangka waktu tertentu serta pancaran radiasi hambur yang terkena oleh petugas yang bekerja di medan radiasi yang akan mengakibatkan respon sel tubuh terhadap bahaya tersebut terjadi sebagai berikut:
  • Intersphase Death ( mati sebelum berkembang)
  • Biasanya terjadi pada sel yang tidak mengalami pembelahan dan berumur panjang (sel matang), sel yang sedang membelah dengan cepat. Sehingga gejalanya timbul beberapa jam setelah diradiasi (tetapi khususnya terjadi setelah beberapa hari), dan ini terjadi karena perubahan biokimia sel.
  • Division Delay (telat perkembangan)
  • Biasanya disebabkan oleh terjadinya peroses kimia tubuh oleh radiasi. Yang mengakibatkan protein untuk mitosis tidak disintesa oleh sel sehingga sintesa DNA tidak merata yang terjadi pada saat proses mitosis (pada tahap perkembangan ke2 à G2) dan mulai terjadi pada dosis rendah
  • Reproductive Failure
  • Biasanya terjadi penurunan kemampuan sel untuk membelah diri dan pertambahan hidup. Akibatnya kondisi sel tersebut tidak mampu lagi membelah diri walaupun masih hidup. Mulai terjadi secara exponensial setelah dosis > 150 rad adan bisa dipengaruhi oleh nilai LED (Linier Energi Tranfer)

Efek Biologi Radiasi

A.  Efek Somatik     :   Efek yang timbul pada indifidu yg terkena radiasi
- Efek Somatik Stokastik :   Peluang terjadi sebanding dengan dosis yang di terima tanpa ada ambang batas atau efek karsinogen
- Efek Somatik Non-stokastik :  Keparahan akibat radiasi bergantung besar dosis yg diterima; ada ambang batas karna dibawah dosis ambang gejala tidak
+ Timbul Lekemia masa laten 2–25 th
+  Ca Thyroid masa laten 10–30th
B. Genetik : Keturunan orang yg terkena radiasi (kerusakan kromosom gen)
C. Teratogenik : Cacat bawaan / kematian karena janin terkena radiasi


BESAR DOSIS DAN SAAT TIMBULNYA GEJALA KLINIS

DOSIS                   GEJALA                                                                  SAAT TIMBULNYA
3 – 10  Gy              Erythema (kulit kemerahan)                                        14 –21 hari
> 3 Gy                    Epilapsi (rambut rontok)                                             14 – 18 hari
8 – 12 Gy               Radang kulit kering (terkelupas, rasa raba hilang)        25 – 30 hari
15 – 20 Gy             Radang kulit basah (tukak)                                         20 – 28 hari
15 – 25 Gy             Pemnbentukan gelembung berisi cairan                       15 – 25 hari
> 20 Gy                  Pembentukan tukak                                                   14 – 21 hari
> 25 Gy                  Nekrosis (kematian jaringan)                                       > 21 hari



SINDROMA RADIASI AKUT

DOSIS               GEJALA                            SAAT TIMBUL                       PELUANG HIDUP
<  1 Gy             Infra klinik                                       x                                                   x

 1 – 2 Gy           Ringan dan Tak Khas:  
                        Mual,Lelah,Muntah,
                        Sakit Kepala                               3  -  6  jam                                      Besar

2 – 6  Gy           Ganguan / Kerusakan
                        Organ Pembuat darah                 2 -  6  minggu
                       (Anemia, Infeksi,Perdarahan)                                                          Sedang/Kecil

7 -  10  Gy         Gangguan / Kerusakan
                        Saluran Pencernaan                     1 -  2  minggu
                        (Diare,  Muntah-muntah, Muntah Darah)                                        Kecil sekali

> 20 Gy             Gangguan / Kerusakan
                        Susunan Syaraf                            Beberapa jam / hari
                        (Kejang, Mengigau, Disorientasi, Koma)                                        Praktis tidak ada


Jika terjadi kecelakaan dimana definisi kecelakaan adalah Suatu kejadian yang tidak direncanakan termasuk kesalahan operasi, kerusakan  ataupun kegagalan fungsi alat atau kejadian lain yang menjurus timbulnya dampak radiasi, kondisi paparan radiasi dan atau kontamisasi yang melampaui batas keselamatan. Maka kita sebagai petugas yang bekerja di medan radiasi yang melaksanakan tugas tersebut akan dirugikan yang mungkinkan menimbulkan Efek Biologi akibat radiasi α β µ ataupun radiasi lainnya.


Potensi Bahaya Kesehatan dan Dampaknya :
  1. Faktor mesin : cedera, trauma, cacat
  2. Fisiologik : gangguan muskuloskeletal, low back pain, kecelakaan (fatique).
  3. Fisik : gangguan neuro vaskular, hearing loss efek radiasi.
  4. Kimia : intoksikasi, alergi, kanker.
  5. Biologik : infeksi, alergi.
  6. Psikologik : stress, dipresi
  7. Psikososial : konflik, persaingan negatif
Nilai Batas Dosis (NBD) : Dosis terbesar yang diizinkan oleh Badan Pengawas yang dapat diterima oleh pekerja radiasi dan anggota masyarakat dalam jangka waktu tertentu tanpa menimbulkan efek genetic dan somatic yang berarti (fatal) akibat pemanfataan tenaga nuklir.

Jenis penyinaran                                                                      Maksimal

 1.  Seluruh tubuh/thn                                                                50mSv (5rem)

2.  Abdomen wanita usia subur/mg                                            13mSv

3.  Wanita hamil/thn                                                                  10mSv

4.  NBD penyinaran lokal                         

- Dosis Efektif / tahun                                                                50mSv    

- Dosis rata-rata tidak lebih                                                       500 mSv        

- Lensa mata / thn                                                                     150mSv    

- Kulit, ekstremitas / thn                                                            500mSv

5.  Penyinaran khusus direncanakan                                           2 NBD

     -  Seumur hidup                                                                   5 NBD

             *  Mendapat izin dari PIA;

             *  1 thn sebelumnya tdk pernah menerima                     1 NBD;

             *  Tdk utk wanita subur dan menolak.

6.  Masyarakat umum,
  • Seluruh tubuh/thn                                                                1/10 NBD
  • Lokal/thn                                                                             50mSv.
7. Anggota masyarakat secara keseluruhan: 

    Protection International Agency menjamin serendah mungkin, memperhatikan dosis genetik;

8. Dosis maksimum bagi magang/siswa:
  • 18 thn+:                                                                      < NBD pekerja radiasi/thn;
  • 16-18 thn:                                                                   < 0,3 NBD pekerja radiasi/thn;
  •  <16 thn:                                                                     < 0,1 NBD masy. umum/thn dan < 0,01 NBD masy.umum/penyinaran.



Kep No. 01 rev.1/Ka-BAPETEN/III-01:
  • Penerimaan dosis yg tidak boleh dilampaui per thn
  • Tidak bergantung laju dosis, interna / eksterna;
  • Tidak termasuk penyinaran medis & alami;
  • Pekerja radiasi tidak boleh berusia < 18 thn.
  • Pekerja wanita dalam masa menyusui tidak diizinkan bertugas di daerah radiasi dg risiko kontaminasi tinggi. KETENTUAN NBD (Keputusan Ka Bapeten No. 01/Ka-BAPETEN/V-99)
Penyakit Akibat Radisi 

1. Radiodismatitis
  • Peradangan kulit akibat penyinaran local dosis tinggi ( diatas 30 sv)
  • Kemerahan pada kulit, masa tenang  3 minggu 
2. Katarak
  • Kerusakan mata disis diatas 5 sv
  • Masa tenang 5-10 tahun  
3. Sterilitas
  • Penyinaran pada kanntung kelamin 0,15 sv
  • Pengurangan kesuburan= kemandulan
4. Sindroma radiasi akut
  • Penyinaran seluruh tubuh (>1gy) sekaligus.laju dosis dandaya tembus besar.
  • Mual, muntah,demam,rasa lelah,sakit kepala,diare diikuti masa tenang 2-3 minggu
  • Nyeri perut, diare, pendarahan, anemia, infeksi kematian.
Dengan terjadinya efek nonstokastik yang membahayakan maka petugas yang bekerja di medan radiasi perlu memahami prinsip-prinsip proteksi radiasi sehingga membatasi akan kemungkinan terjadinya infeksi dan efek stokastik sampai pada nilai batas yang diterima. Sehingga kita yakin bahwa pekerjaan atau kegiatan yang berkaitan dengan medis dan penyinaran radiasi dapat dibenarkan.

Hak dan Kewajiban Pekerja
1.      Mempunyai hak mendapatkan informasi bahaya dan risiko dari pekerjaannya.
2.      Mendapatkan pelatihan.
3.      Mendapatkan perlindungan asuransi, termasuk penyediaan APD.
4.      Mendapatkan konsultasi terhadap bahaya.
(Konvensi ILO di bidang K3)

Dari kemungkina gejala yang akan timbul dan terjadi sebagai bagian dari resiko pekerja dan kompensasi yang yang seharusnya di diterima karena hal ini memungkinkan menimbulkan Efek Biologi akibat radiasi α β µ ataupun radiasi lainnya. Maka tentula petugas yang bekerja di medan radiasi harus waspada dan pastinya berharap akan akan menuntut tunjangan bahaya Radiasi (TBR) bagi tenaga kesehatan sebagai salah satu kopensasi dari bahaya yang disesuaikan akibat efek tersebut.

Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wani’mannasir, waspadalah...waspadalah...Semoga Allah SWT melindungi dan memberi keselamatan bagi kita semua dalam bekerja. amien

Daftar Pustaka:
  • Kutipan materi K-3 Workshop QA Prosessing Film BPFK Dep Kes Jakarta, tahun 2009
  • Kutipan materi Proteksi Radiasi Poltekes Dep.Kes. Jakarta, tahun 2009
  • Kutipan materi Radiobiologi Pusat kajian Radiografi & Imaging (PUSKARADIM)

Jumat, 18 Februari 2011

Talk Show JEJAK LAIN SANG RADIOGRAFER (JLSR)

 Talk Show JEJAK LAIN SANG RADIOGRAFER (JLSR)
http://www.facebook.com/event.php?eid=136194179779811

Sahabat Trc yang berbahagia....Saatnya kita membuka inspirasi keilmuan kita bersama dengan hadir di acara JEJAK LAIN SANG RADIOGRAFER (JLSR) pada setiap edisi setiap bulan di tahun 2011. PERSEMBAHAN UNTUK RADIOGRAFER INDONESIA, SECARA.....GRATIS..!!

Jejak Lain SAng Radiografer" (JLSR) di bulan februari ini Yayasan GSU, di dukung oleh Radiografer Foundation Center (RFC), Cafe Radiologi,Radiografer Plus Plus dan tentunya grup/blog... kami kembali akan mengadakan acara JLSR... dengan conten acara yg MAHA DAHSYAAATTTT..... catat tanggal mainnya :

SABTU, 26 FEBRUARI 2011
Pukul 08.00 - 13.30 WIB
BERTEMPAT DI AUDIT GIZI POLTEKKES KEMENKES JAKARTA II Lt. 3

GRATISS !!!! BUAT MEMBER YAYASAN GSU
Bagi yg blm menjadi anggota silahkan search "YAYASAN GSU" dan tambahkan sebagai teman, lalu kirim pesan IN BOOKnya ketik : "MEMBER"

Klo masih pada bingung juga cara mendaftarnya, silahkan dateng langsung saat pada hari H nya, kami akan bantu untuk daftar secara on line di stand CREATIVE kami....

TRC OF INDONESIA

Selasa, 15 Februari 2011

PROSES FILM RADIOGRAFI SECARA KONVENSIONAL

PROSES FILM RADIOGRAFI SECARA KONVENSIONAL

A. PENDAHULUAN
Setelah film mendapat penyinaran dengan sinar-X, langkah selanjutnya adalah film tersebut harus diolah atau diproses di dalam kamar gelap agar diperoleh gambaran radiografi yang permanen dan tampak. Tahapan pengolahan film secara utuh terdiri dari pembangkitan (developing), pembilasan (rinsing), penetapan (fixing), pencucian (washing), dan pengeringan (drying).

1. Pembangkitan
a. Sifat dasar
Pembangkitan merupakan tahap pertama dalam pengolahan film. Pada tahap ini perubahan terjadi sebagai hasil dari penyinaran. Dan yang disebut pembangkitan adalah perubahan butir-butir perak halida di dalam emulsi yang telah mendapat penyinaran menjadi perak metalik atau perubahan dari bayangan laten menjadi bayangan tampak. Sementara butiran perak halida yang tidak mendapat penyinaran tidak akan terjadi perubahan. Perubahan menjadi perak metalik ini berperan dalam penghitaman bagian-bagian yang terkena cahaya sinar-X sesuai dengan intensitas cahaya yang diterima oleh film. Sedangkan yang tidak mendapat penyinaran akan tetap bening. Dari perubahan butiran perak halida inilah akan terbentuk bayangan laten pada film.
b. Bayangan laten (latent image)
Emulsi film radiografi terdiri dari ion perak positif dan ion bromida negative (AgBr) yang tersusun bersama di dalam kisi kristal (cristal lattice). Ketika film mendapatkan eksposi sinar-X maka cahaya akan berinteraksi dengan ion bromide yang menyebabkan terlepasnya ikatan elektron. Elektron ini akan bergerak dengan cepat kemudian akan tersimpan di daiam bintik kepekaan (sensitivity speck) sehingga bermuatan negatif. Kemudian bintik kepekaan ini akan menarik ion perak positif yang bergerak bebas untuk masuk ke dalamnya lalu menetralkan ion perak positif menjadi perak berwarna hitam atau perak metalik. Maka terjadilah bayangan laten yang gambarannya bersifat tidak tampak. Kejadian ini tergambar melalui reaksi kimia sebagai berikut:

AgBr  Ag + + Br -
Br - + radiasi  Br - + e -
SS + e -  SS -

SS - + Ag +  Ag
c. Larutan developer terdiri dari:
i. Bahan pelarut (solvent).
Bahan yang dipergunakan sebagai pelarut adalah air bersih yang tidak mengandung mineral.
ii. Bahan pembangkit (developing agent).
Bahan pembangkit adalah bahan yang dapat mengubah perak halida menjadi perak metalik. Di dalam lembaran film, bahan pembangkit ini akan bereaksi dengan memberikan elektron kepada kristal perak bromida untuk menetralisir ion perak sehingga kristal perak halida yang tadinya telah terkena penyinaran menjadi perak metalik berwarna hitam, tanpa mempengaruhi kristal yang tidak terkena penyinaran. Bahan yang biasa digunakan adalah jenis benzena (C6H6). Reaksi kimia yang terjadi antara bahan pembangkit dengan film dapat dilihat sebagai berikut: '
Ag Br + Bahan pembangkit  Ag + Oksida bahan pembangkit + Br - + H+
iii. Bahan pemercepat (accelerator).
Bahan developer membutuhkan media alkali (basa) supaya emulsi pada film mudah membengkak dan mudah diterobos oleh bahan pembangkit (mudah diaktifkan). Bahan yang mengandung alkali ini disebut bahan pemercepat yang biasanya terdapat pada bahan seperti potasium karbonat (Na2CO3 / K2CO3) atau potasium hidroksida (NaOH / KOH) yang mempunyai sifat dapat larut dalam air.
iv. Bahan penahan (restrainer).
Fungsi bahan penahan adalah untuk mengendalikan aksi reduksi bahan pembangkit terhadap kristal yang tidak tereksposi, sehingga tidak terjadi kabut (fog) pada bayangan film. Bahan yang sering digunakan adalah kalium bromida.
v. Bahan penangkal (preservatif).
Bahan penangkal berfungsi untuk mengontrol laju oksidasi bahan pembangkit. Bahan pembangkit mudah teroksidasi karena mengabsorbsi oksigen dari udara. Namun bahan penangkal ini tidak menghentikan sepenuhnya proses oksidasi, hanya mengurangi laju oksidasi dan meminimalkan efek yang ditimbulkannya.
vi. Bahan-bahan tambahan.
Selain dari bahan-bahan dasar, cairan pembangkit mengandung pula bahan-bahan tambahan seperti bahan penyangga (buffer) dan bahan pengeras (hardening agent). Fungsi dari bahan penyangga adalah untuk mempertahankan pH cairan sehingga aktivitas cairan pembangkit relatif konstan. Sedangkan fungsi dari bahan pengeras adalah untuk mengeraskan emulsi film yang diproses.

2. Pembilasan
Merupakan tahap selanjutnya setelah pembangkitan. Pada waktu film dipindahkan dari tangki cairan pembangkit, sejumlah cairan pembangkit akan terbawa pada permukaan film dan juga di dalam emulsi filmnya. Cairan pembilas akan membersihkan film dari larutan pembangkit agar tidak terbawa ke dalam proses selanjutnya.
Cairan pembangkit yang tersisa masih memungkinkan berlanjutnya proses pembangkitan walaupun film telah dikeluarkan dari larutan pembangkit. Apabila pembangkitan masih terjadi pada proses penetapan maka akan membentuk kabut dikroik (dichroic fog) sehingga foto hasil tidak memuaskan.
Proses yang terjadi pada cairan pembilas yaitu memperlambat aksi pembangkitan dengan membuang cairan pembangkit dari permukaan film dengan cara merendamnya ke dalam air. Pembilasan ini harus dilakukan dengan air yang mengalir selama 5 detik.

3. Penetapan
Diperlukan untuk menetapkan dan membuat gambaran menjadi permanen dengan menghilangkan perak halida yang tidak terkena sinar-X. Tanpa mengubah gambaran perak metalik. Perak halida dihilangkan dengan cara mengubahnya menjadi perak komplek. Senyawa tersebut bersifat larut dalam air kemudian selanjutnya akan dihilangkan pada tahap pencucian.
Tujuan dari tahap penetapan ini adalah untuk menghentikan aksi lanjutan yang dilakukan oleh cairan pembangkit yang terserap oleh emulsi film. Pada proses ini juga diperlukan adanya pengerasan untuk memberikan perlindungan terhadap kerusakan dan untuk mengendalikan akibat penyerapan uap air.
Bahan-bahan yang dipakai untuk membuat suatu cairan penetap adalah:
a. Bahan penetap (fixing agent).
Dipilih bahan yang berfungsi mengubah perak halida. Bahan ini bersifat dapat bereaksi dengan perak halida dan membentuk komponen perak yang larut dalam air, tidak merusak gelatin, dan tidak memberikan efek terhadap bayangan perak metalik. Bahan yang umum digunakan adalah natrium thiosulfat (Na2S2O3) yang dikenal dengan nama hypo. Reaksi kimia yang terjadi pada film adalah sebagai berikut:
Na2S2O3 + AgBr = Na2Ag(S2O3)2) + NaBr
b. Bahan pemercepat (accelerator).
Untuk menghindari kabut dikroik dan timbulnya noda kecoklatan, biasanya digunakan asam yang sesuai. Karena pembangkit memerlukan basa dalam menjalankan aksinya, maka tingkat keasaman cairan penetap akan menghentikan aksinya.
Asam kuat seperti asam sulfat (H2SO4) akan merusak bahan penetap dan mengendapkan sulfur, seperti terlihat pada reaksi kimia berikut:
Na2S2O3 + 2HAc  2NaAc + H2S2O4
H2S2O3  H2SO3 +S (sulfurisasi)
Maka bahan pengaktif yang umumnya dipergunakan adalah asam lemah seperti asam asetat (CH3COOH). Akan tetapi dengan penggunaan asam lemah ini masih terjadi pengendapan sulfur. Untuk mengatasi hal ini maka dipergunakan bahan penangkal.
c. Bahan penangkal (preservatif).
Untuk menghindari adanya pengendapan sulfur maka pada cairan penetap ditambahkan bahan penangkal yang akan melarutkan kembali sulfur tersebut. Bahan penangkal yang digunakan adalah natrium sulfit, natrium metabisulfit, atau kalium metabisulfit.
d. Balian pengeras (hardener).
Bahan ini digunakan untuk mencegah pembengkakan emulsi film yang berlebihan. Pembengkakan emulsi akan membuat perak bromida mudah terkelupas dan pengeringan film yang tidak merata. Bahan yang digunakan biasanya adalah potassium alum [K2SO4Al3(SO4)2H2O], aluminium sulfat [Al2(SO4) 3].
e. Bahan penyangga (buffer).
Digunakan untuk mempertahankan pH cairan agar dapat tetap terjaga pada nilai 4 - 5. Bahan yang digunakan adalah pasangan antara asam asetat dengan natrium asetat, atau pasangan natrium sulfit dengan natrium bisulfit.
f. Pelarut (solvent).
Pelarut yang ummn digunakan adalah air bersih.

4. Pencucian.
Setelah film menjalani proses penetapan maka akan terbentuk perak komplek dan garam. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan tersebut dalam air. Tahap ini sebaiknya dilakukan dengan air mengalir agar dan air yang digunakan selalu dalam keadaan bersih.

5. Pengeringan
Merupakan tahap akhir dari siklus pengolahan film. Tujuan pengeringan adalah untuk menghilangkan air yang ada pada emulsi. Hasil akhir dari proses pengolahan film adalah emulsi yang tidak rusak, bebas dari partikel debu, endapan kristal, noda, dan artefak.
Cara yang paling umum digunakan untuk melakukan pengeringan adalah dengan udara. Ada tiga faktor penting yang mempengaruhinya, yaitu suhu udara, kelembaban udara, dan aliran udara yang melewati emulsi.

Sabtu, 12 Februari 2011

PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF


PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF

Penulis : Erwansyah Lubis (Ahli Peneliti Utama, Bidang Radioekologi Kelautan PTLR - BATAN)

Limbah radioaktif umumnya ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian reaktor riset, pemanfaatan sumber radiasi dan bahan radioaktif dalam bidang industri, pertanian, kedokteran dan penelitian serta dari berbagai proses indusrti yang menggunakan bahan yang mengandung radionuklida alam (Naturally Occurring Radioactive Material, NORM). Sedangkan di negara-negara maju, limbah radioaktif juga ditimbulkan dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/ fasilitas nuklir. Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dan pembuangan limbah (disposal) [5].
Dalam U.U. No. 10/1997 pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa "Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. Dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan Pelaksana dalam hal ini adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Sesuai Keputusan Kepala Batan No.166/KA/IV/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Batan, pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif (P2PLR). Dalam pasal 23 ayat (2), Batan dalam melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif dapat bekerjasama dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Koperasi dan/ atau Badan Usaha lainnya. Berdasarkan pasal ini, pemerintah membuka pintu-pintu lebar-lebar bagi pihak swasta atau Badan Usaha lainnya untuk berperan serta dalam pengelolaan limbah radioaktif yang aman untuk generasi saat ini maupun untuk generasi yang akan datang.
Skema pengelolaan limbah radioaktif yang ditimbulkan dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nukkir secara umum ditampilkan dalam Gambar 1.

Minimisasi Limbah

Dalam pemanfaatan iptek nuklir minimisasi limbah diterapkan mulai dari perencanaan, pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi). Pada tahap awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi, yaitu "tidak dibenarkan memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan perorangan atau anggota masyarakat menerima paparan radiasi bila tidak menghasilkan suatu manfaat yang nyata". Dengan menerapkan azas justifikasi berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta membatasi limbah/dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Setelah penerapan azas justifikasi atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut harus lebih besar manfaatnya dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian dari Badan Pengawas, seperti telah diuraikan sebelumnya.

Image
Gambar 1. Skema pengelolaan limbah radioaktif dalam pemanfaatan Iptek Nuklir.

Pengelompokan Limbah Radioaktif

Limbah radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya dikelompokkan ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Pengelompokan ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk jangka waktu yang panjang dalam upaya melindungi pekerja radiasi, lingkungan hidup, masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini merupakan strategi awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di tiap negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan yang berlaku di masing-masing negara. Pengelompokan limbah dapat dilakukan selain berdasarkan tingkat aktivitasnya, juga dapat berdasarkan waktu-paro (T1/2), panas gamma yang ditimbulkan dan kandungan radionuklida alpha yang terdapat dalam limbah.
Di Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah radioaktif berdasarkan aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Di P2PLR, berdasarkan bentuknya limbah radioaktif dikelompokkan ke dalam limbah cair (organik, anorganik), limbah padat (terkompaksi/tidak terkompaksi, terbakar/tidak terbakar) dan limbah semi cair (resin). Berdasarkan aktivitasnya dikelompokkan menjadi limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 < LTR < 10-3Ci/m3), limbah aktivitas sedang (10-3Ci/m3 < LTS < 104Ci/m3) dan limbah aktivitas tinggi (LTT > 104Ci/m3).
Penimbul limbah radioaktif baik dari kegiatan Batan dan diluar Batan (Industri, Rumah Sakit, industri, dll.) wajib melakukan pemilahan dan pengumpulan limbah sesuai dengan jenis dan tingkat aktivitasnya. Limbah radioaktif ini selanjutnya dapat diolah di Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Serpong untuk pengolahan lebih lanjut.


Teknologi Pengolahan Limbah

Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah, agar dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan lingkungan hidup aman dari paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum digunakan antara lain adalah teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi, dll.), teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.), teknologi transformasi (insinerasi, kalsinasi) dan teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah, imobilisasi, adsorpsi/absorpsi). Limbah yang telah mengalami reduksi volume selanjutnya dikondisioning dalam matrik beton, aspal, gelas, keramik, sindrok, dan matrik lainnya, agar zat radioaktif yang terkandung terikat dalam matrik sehingga tidak mudah terlindi dalam kurun waktu yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun) bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke lingkungan. Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem disposal ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida waktu-paro (T1/2) panjang yang sampai ke lingkungan hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh di bawah NBD yang ditolerir untuk anggota masyarakat.

Limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang

Teknologi pengolahan dan disposal limbah tingkat rendah (LTR) dan tingkat sedang (LTS) telah mapan dan diimplementasikan secara komersial di negara-negara industri nuklir. Penelitian dan pengembangan (litbang) yang berkaitan dengan pengolahan dan disposal limbah ini sudah sangat terbatas. Negara-negara berkembang dapat mempelajari dan mengadopsi teknologi pengolahan dan disposal dari negara-negara industri nuklir. Teknologi pengolahan dan disposal yang dipilih haruslah disesuaikan dengan strategi pengelolaan yang ditetapkan. Dalam upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat, beberapa negara-negara industri nuklir saat ini cenderung langsung mendisposal LTR dan LTS dari pada menyimpannya di tempat penyimpanan sementara (strategi wait and see). Penerapan disposal secara langsung selain akan memeperkecil dampak radiologi terhadap pekerja, juga diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir [15].
P2PLR semenjak tahun 1989 hingga saat ini (±13 tahun) telah mengolah LTR dan LTS baik yang berasal dari kegiatan BATAN maupun dari kegiatan industri, rumah sakit dan kegiatan lainnya. Limbah cair diolah dengan unit Evaporator yang mempunyai faktor pemekatan 50 kali dan kapasitas pengolahan 750 liter/jam. Limbah padat terbakar diolah dengan unit insinerator yang mempunyai kapasitas pembakaran 50 kg/jam. Limbah padat terkompaksi/tidak terbakar diolah dengan unit kompaktor yang mempunyai kuat tekan 60 kN. Limbah hasil-olahan disimpan di tempat penyimpanan sementara (Interim Storage, IS-1) yang mempunyai kapasitas penampungan 1500 sel drum 200 liter. Jumlah limbah hasil-olahan yang disimpan di IS-1 saat ini masing-masing 507 buah dalam drum 200 liter, 45 buah dalam cel beton 950 liter dan 34 buah dalam cel beton 350 liter. Data ini menunjukkan laju pengolahan limbah per tahun relatif rendah. Namun demikian untuk mengantisipasi jumlah limbah hasil-olahan untuk masa yang akan datang, P2PLR saat ini telah membangun IS-2 dengan kapasitas yang sama.
P2PLR dalam pengelolaan LTR dan LTS telah mengadopsi teknologi yang telah mapan dan umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Limbah hasil olahan disimpan di fasilitas IS-1, sehingga limbah tersebut aman dan terkendali serta kemungkinan limbah tersebut tercecer atau tidak bertuan dapat dihindarkan.

Limbah tingkat tinggi

Kebijakan pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) dan bahan bakar nuklir (BBN) bekas di tiap negara industri nuklir selain berbeda juga masih berubah-ubah. Beberapa negara melakukan pilihan olah-ulang (daur-tertutup) untuk pemanfaatan material fisil dan fertil yang masih terkandung dan sekaligus mereduksi volumenya. Sebagian negara lain melihat LTT sebagai limbah (daur-terbuka), dan berencana untuk mendisposalnya dalam formasi geologi tanah dalam (deep repository).
Dalam diposal LTT, di negara-negara industri nuklir saat ini masih terjadi perdebatan, sebagian pakar memilih opsi penyimpanan lestari/disposal dalam formasi geologi dan sebagian lainnya mempertimbangkan opsi "non-disposal" (indefinite surface storage). Opsi non-disposal adalah merupakan kecenderungan untuk menerima ide retrievebility dan reversibility. Konsekuensi dari penerimaan opsi ini berdampak kepada disain fasilitas, namun tidak mempengaruhi secara teknis [15].
Saat ini, beberapa negara-negara industri nuklir juga sedang mengeksplorasi jalur lain, yaitu jalur partisi dan transmutasi dalam upaya mengurangi T1/2. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang mendasar dalam menetapkan strategi pengelolaan LTT. Walaupun jalur partisi dan transmutasi dapat mengurangi T1/2 limbah, namun secara keseluruhan tetap tidak menutup kebutuhan disposal. Dengan meningkatnya radionuklida T1/2 pendek hasil partisi/transmutasi akan meningkatkan paparan radiasi. Hal ini berdampak pada keselamatan radiasi terhadap pekerja, sehingga memerlukan kajian tersendiri [15].
BATAN dalam pengelolaan LTT saat ini memilih daur tertutup. Limbah BBN bekas dan LTT dari hasil uji fabrikasi BBN saat ini disimpan di Interim Storage for Spent Fuel Element (ISSFE) yang ada di PPTN Serpong. Kapasitas ISSFE mampu untuk menyimpan BBN bekas untuk selama umur operasi reaktor G.A. Siwabessy. LTT dan Bahan Bakar Nuklir (BBN) bekas yang dihasilkan dari pengoperasian reaktor Triga Mark II di Bandung dan reaktor Kartini di Yogyakarta disimpan di kolam pendingin reaktor. Dalam pengoperasian reaktor G.A.Siwabessy, reaktor Triga Mark II dan reaktor Kartini, BBN bekas ataupun LTT tidak ada yang keluar dari kawasan nuklir tersebut, seluruhnya tersimpan dengan aman di kawasan nuklir tersebut.

Pembuangan Limbah Radioaktif

Strategi pembuangan limbah radioaktif umumnya dibagi kedalam 2 konsep pendekatan, yaitu konsep "Encerkan dan Sebarkan" (EDS) atau "Pekatkan dan Tahan" (PDT). Kedua strategi ini umumnya diterapkan dalam pemanfaatan iptek nuklir di negara industri nuklir, sehingga tidak dapat dihindarkan menggugurkan strategi zero release [15].

Pembuangan efluen

Dalam pengoperasian instalasi nuklir tidak dapat dihindarkan terjadinya pembuangan efluen ke atmosfer dan ke badan-air. Efluen gas/partikulat yang dibuang langsung ke atmosfer berasal dari sistem ventilasi. Udara sistem ventilasi di tiap instalasi nuklir sebelum dibuang ke atmosfer melalui cerobong, dibersihkan kandungan gas/ partikulat radioaktif yang terkandung di dalamnya dengan sistem pembersih udara yang mempunyai efisiensi 99,9 %. Efluen cair yang dapat dibuang langsung ke badan-air hanya berasal sistem ventilasi dan dari unit pengolahan limbah cair radioaktif. Tiap jenis radionuklida yang terdapat dalam efluen yang di buang ke lingkungan harus mempunyai konsentrasi di bawah BME.
Pembuangan efluen radioaktif secara langsung, setelah proses pengolahan/dibersihkan dan setelah peluruhan ke lingkungan merupakan penerapan strategi EDS. Dalam pembuangan secara langsung, setelah dibersihkan dan setelah peluruhan aktivitas/konsentrasi radionuklida yang terdapat dalam efluen harus berada di bawah BME. Radionuklida yang terdapat dalam efluen akan terdispersi dan selanjutnya melaui berbagai jalur perantara (pathway) yang terdapat di lingkungan akan sampai pada manusia sehingga mempunyai potensi meningkatkan penerimaan dosis terhadap anggota masyarakat. Penerimaan dosis terhadap anggota masyarakat ini harus dibatasi serendah-rendahnya (penerapan azas optimasi). Dosis maksimal yang diperkenankan dapat diterima anggota masyarakat dari pembuangan efluen ke lingkungan dari seluruh jalur perantara yang mungkin adalah 0,3 mSv per tahun [16]. Dosis pembatas (dose constrain) sebesar 0,3 mSv memberikan kemungkinan terjadinya efek somatik hanya sebesar 3,3x10-6. Berdasarkan dosis pembatas ini BME tiap jenis radionuklida yang diizinkan terdapat dalam efluen dapat dihitung dengan teknik menghitung balik pada metode prakiraan dosis. BME tiap jenis radioaktif ini harus mendapat izin dan tiap jenis radionuklida yang terlepaskan ke lingkungan harus dimonitor secara berkala dan dilaporkan ke Badan Pengawas.
BME tiap jenis radioanuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen radioaktif yang dibuang ke lingkungan untuk tiap instalasi nuklir di PPTN Serpong telah dihitung dengan metode faktor konsentrasi (concentration factor method) dan telah diterapkan semenjak reaktor G.A. Siwabessy dioperasikan pada bulan Agusutus 1987 [17]. Pembuangan efluent gas/partikulat dan efluen cair ke lingkungan di PPTN Serpong telah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan baik secara nasional maupun internasional.

Disposal limbah

Penyimpanan lestari/disposal limbah radioaktif hasil-olahan merupakan penerapan strategi PDT. Strategi ini mempunyai potensi meningkatkan peneriman dosis terhadap anggota masyarakat, dosis maksimal yang diakibatkannya tidak boleh melebihi dosis pembatas yang diperkenankan. Pengoperasian fasilitas disposal ini harus mendapat izin lokasi, konstruksi dan operasi dari Badan Pengawas.

Lokasi disposal

Pemilihan lokasi untuk pembangunan fasilitas disposal mengacu pada proses seleksi yang direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Faktor-faktor teknis yang dipertimbangkan diantaranya faktor geologi, hidrogeologi, geokimia, tektonik dan kegempaan, berbagai kegiatan yang ada di sekitar calon lokasi, meteorologi, transportasi limbah, tata-guna lahan, distribusi penduduk dan perlindungan lingkungan hidup. Faktor lainnya yang sangat penting adalah penerimaan oleh masyarakat. Di negara-negara industri nuklir moto "Not In My Backyard" (NYMBY) telah merintangi dalam pemilihan lokasi, tidak hanya untuk disposal limbah radioaktif juga terhadap limbah industri lainnya. Oleh karena itu perhatian terhadap faktor-faktor sosial (societal issues) selama pase awal proses pemilihan lokasi memerlukan perhatian ekstra hati-hati dan seksama. Isu ini menyebabkan negara-negara industri nuklir cenderung memilih lokasi (site) nuklir yang telah ada untuk pembangunan fasilitas disposal. Sebagai contoh diantaranya fasilitas disposal Drig (United Kingdom), Centre de la Manche (Perancis), Rokkasho (Jepang) dan Oilkiluoto (Finlandia) [15].
P2PLR telah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian kemungkinan kawasan nuklir PPTN Serpong dan calon lokasi PLTN di S. Lemahabang dapat digunakan sebagai lokasi untuk disposal LTR, LTS dan LTT. Hasil pengkajian dan penelitian ini sementara menyimpulkan bahwa kawasan PPTN Serpong dikarenakan kondisi lingkungan setempat (pola aliran air tanah, demographi, dll) hanya memungkinkan untuk pembangunan sistem disposal eksperimental, sedangkan di calon lokasi PLTN telah dapat diidentifikasi daerah yang mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk pembangungan sistem disposal near-surface dan deep disposal. [18, 19].

Rancang-bangun

Fasilitas disposal dibangun tergantung pada kondisi geologi, persyaratan-persyaratan khusus dan pemenuhan regulasi. Fasilitas disposal yang dibangun haruslah efektif menahan radionuklida untuk tidak migrasi ke lingkungan hidup selama periode potensi bahaya (hazard) maksimal, sehingga paparan radiasi terhadap pekerja dan anggota masyarakat selama operasi dan pasca-operasi minimal. Tujuan ini dapat dicapai melalui rancang-bangun komponen-komponen teknis seperti paket limbah, struktur teknis fasilitas, lokasi itu sendiri dan kombinasi dari berbagai faktor-faktor teknis tersebut.
Rancang-bangun fasilitas disposal berkaitan erat dengan kemajuan teknologi dan perhatian masyarakat terhadap keselamatan radiasi dan lingkungan serta perlindungan generasi yang akan datang. Rancang-bangun yang banyak diminati adalah sistem disposal dengan penahan berlapis (multiple engineered barriers). Sistem ini terdiri dari bungker beton (concrete vault), bahan pengisi (backfill material), penahan berdasarkan proses kimia (chemical barrier), sistem ventilasi (mesure for gas venting) sistem drainase (drainage) dan daerah penyangga (buffer zone).
Saat ini beberapa jenis fasilitas disposal telah dibangun dan beroperasi di negara-negara industri nuklir, 62 % dibangun dekat permukaan tanah (engineered near-surface), 18 % di permukaan tanah, 7 % dalam gua bekas tambang dan sisanya dalam formasi geologi (deep disposal) [15].

Pengkajian keselamatan

Pengkajian keselamatan pembuangan/disposal limbah radioaktif bertujuan mengevaluasi unjuk-kerja dari sistem disposal baik untuk kondisi saat ini maupun untuk kondisi yang akan datang, diantisipasi juga mengenai kejadian-kejadian yang sangat jarang terjadi. Berbagai faktor, seperti model dan parameter, periode waktu yang lama, perilaku manusia dan perubahan iklim harus dievaluasi secara konsisten, walaupun data kuantitatif yang diperlukan tidak/ belum tersedia. Hal ini dapat diperoleh melalui formulasi dan analisis dari berbagai skenario yang mungkin terjadi. Skenario adalah deskripsi berbagai alternatif yang mungkin terjadi secara konsisten mengenai evolusi dan kondisi dimasa yang akan datang. Proses pengkajian keselamatan umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan proses, seperti kontek perlunya pengkajian dilakukan (memilih lokasi, perizinan, kriteria yang digunakan, dan waktu pengoperasian), rincian rancang-bangun, pengembangan dan menenetapkan skenario, memformulasikan dan penerapkan model. Melakukan analisis dan menginterpretasikan hasil dengan membandingkan terhadap kriteria yang direkomendasikan [15].
Kemampuan untuk melakukan pengkajian keselamatan ini perlu dukungan infrastruktur (organisasi, peralatan, dll.) dan sumberdaya manusia yang handal serta disiapkan secara berkesinambungan. Di P2PLR saat ini terdapat Bidang Kelompok Penyimpanan Lestari dan Bidang Keselamatan dan Lingkungan, telah membuat group-group untuk pengkajian skenario, mendapatkan besaran-besaran fisika-kima untuk pengkajian dan pengembangan perangkat lunak untuk pengkajian unjuk kerja fasilitas disposal (performance assessment), diharapkan dalam jangka panjang dapat dibangun capacity building dan confidence building dalam keselamatan disposal limbah radioaktif.

Penerimaan Masyarakat

Penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek-nuklir sangat dipengruhi oleh keamanan dan keselamatan pengelolaan limbah radioaktif, dimana didalamnya termasuk masalah bersifat teknis dan sosial. Di negara-negara industri nuklir upaya-upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat, yaitu meningkatkan dialog/komunikasi dengan komunitas lokal di mana fasilitas/kegiatan nuklir akan diintroduksi dan dengan masyarakat luas yang secara nyata menunjukan komitmen terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang unggul (excellent). Di beberapa negara menawarkan insentif finasial ke komunitas yang menerima di mana di daerahnya akan diintroduksi fasilitas/kegiatan nuklir. Kompensasi ditetapkan tidak sebagai hadiah, namun berdasarkan diskusi terhadap isu-isu masalah keselamatan. Sebagai contoh dari finansial insentif dapat berupa kesempatan kerja untuk komunitas lokal yang lebih besar atau pembebasan biaya listrik bila dilokasi tersebut dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Isu-isu sosial (societal issues) yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat diantaranya adalah jaminan independensi dari Badan Pengawas dan keputusan yang diambil oleh Badan Pengawas terhadap perizinan dalam pemanfaatan iptek nuklir haruslah berdasarkan suatu pengkajian dan pertimbangan yang tepat. Dalam masalah disposal, diantaranya demonstrasikan bahwa masalah keselamatan telah memperhatikan generasi yang akan datang, pengambilan keputusan dilakukan secara bertahap dan transparan serta lakukan komunikasi yang efektif dengan penduduk lokal dalam membangun kepercayaan.

PEMANTAUAN LINGKUNGAN

Pemantauan radioaktivitas lingkungan di sekitar instalasi dimana kegiatan/pemanfaatan iptek nuklir berlangsung, merupakan suatu ketentuan yang diberlakukan. Tujuan utama dari pemantauan lingkungan ini adalah untuk [20];

Verifikasi kelayakan pengawasan pembuangan efluen ke lingkungan
Melakukan koreksi terhadap kesahihan perhitungan batas konsentrasi tiap jenis radionuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen.
Memberikan jaminan/pembuktian kepada Badan Pengawas dan masyarakat bahwa dampak radiologi yang ditimbulkan dalam batasan yang diizinkan/diperkenankan.
Sebagai sarana ilmiah dalam mempelajari pola penyebaran, faktor perpindahan/pemekatan dan migrasi radionuklida di berbagai komponen lingkungan hidup.
Program pemantauan yang diturunkan dari hasil studi Amdal, berdasarkan dokumen RPL, komponen-komponen lingkungan dan jenis dampak/radionuklida yang harus dipantau serta frekuensi pemantauan dapat ditetapkan. Selanjutnya dari hasil pemantauan dapat dilakukan prakiraan penerimaan dosis oleh anggota masyarakat dari berbagai jalur perantara (pathway) yang mungkin. Prakiraan dosis dilakukan dengan metode faktor pemekatan. Hasil prakiran dosis yang diperoleh dibandingkan dengan Nilai Batas Dosis (NBD) yang diperkenankan untuk anggota masyarakat dan dilaporkan ke Badan Pengawas.
Program pemantauan lingkungan di PPTN Serpong telah dilaksanakan semenjak reaktor G.A.Siwabessy dioperasikan tahun 1987 hingga sekarang. Hasil pemantauan yang diperoleh berdasarkan evaluasi secara statistika, metode pembobotan dan pembandingan terhadap baku mutu radioaktivitas di lingkungan, menunjukkan bahwa [21, 22]:
Laju dosis dan dosis kumulatif di udara di PPTN Serpong, daerah Puspiptek dan Lepas Kawasan tidak menunjukan adanya perubahan ataupun kecenderungan peningkatan.
Tidak teramati adanya radionuklida hasil fisi ataupun aktivasi dalam komponen lingkungan di PPTN Serpong, daerah Puspiptek dan Lepas Kawasan, yang teramati umumnya adalah radionuklida alam dan radionuklida jatuhan dari percobaan bom nuklir di atmosfer (Global Fall-Out) yang konsentrasinya sangat rendah.
Berdasarkan butir 1 dan 2 menyatakan bahwa tidak terjadi peningkatan penerimaan dosis oleh anggota masyarakat yang berada di sekitar PPTN Serpong.
Berdasarkan pengalaman pemantauan radioaktivitas dan pengkajian keselamatan lingkungan di PPTN Serpong semenjak tahun 1987, saat ini Batan mempunyai sumberdaya manusia dalam kelompok keahlian Keselamatan Radiasi dan Keselamatan Lingkungan yang mampu selain untuk melakukan Amdal kegiatan nuklir, juga melakukan rancang-bangun sistem pemantauan keselamatan radiasi lingkungan untuk operasi normal ataupun untuk kondisi kedaruratan nuklir.

KESIMPULAN

Keselamatan radiasi lingkungan dalam pengelolaan limbah radioaktif diupayakan melalui;
Pembatasan penerimaan dosis, Nilai Batas Dosis (NBD) yang ditolerir dapat diterima oleh anggota masyarakat sebesar 1,0 mSv per tahun. NBD untuk anggota masyrakat ini relatif lebih kecil dari yang diterima rata-rata dari radiasi alam (2,4 mSv per tahun).
Penerimaan dosis oleh anggota masyarakat dari kegiatan pembuangan efluen radioaktif ke atmosfer dan ke badan-air, serta dari disposal limbah dibatasai maksimal sebesar 0,3 mSv per tahun. Besarnya dosis pembatas ini, mempunyai potensi kemungkinan terjadinya efek somatik sebesar 3,3 x 10-6, sesuai dengan standar de minimus, nilai risiko ini termasuk dapat diabaikan.
Pemantauan lingkungan merupakan ketentuan yang diberlakukan, sehingga bila terjadi kecenderungan peningkatan penerimaan dosis oleh penduduk di sekitar fasilitas nuklir dapat secara dini diketahui, sehingga kegiatan nuklir dapat dihentikan segera, dengan demikian kerugian terhadap masyarakat dan lingkungan dapat diminimalisis serendah-rendahnya.
Pengelolaan limbah radioaktif tingkat rendah (LTR) dan sedang (LTS) telah mapan (proven) baik secara teknologi maupun keselamatan, dan telah diimplemetasikan secara komersial. Teknologi pengolahan limbah radioaktif ini telah diadopsi dan diimplementasikan di Indonesia (Batan) dalam mengelola LTR dan LTS baik yang dihasilkan dari kegiatan Batan maupun dari kegiatan Non-Batan (industri, rumah sakit, penelitaian dan lain-lainhya).
Pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) di negara-negara industri nuklir selain berbeda, juga masih berubah-ubah. Sebagian memilih daur tertutup (memilih opsi olah-ulang) dan sebagian lainnya memilih daur terbuka (memilih opsi disposal). Indonesia memilih daur terbuka, limbah BBN bekas yang awalnya dipasok dari luar Negeri, direeksport kembali ke negara asal. Sementara LTT yang ditimbulkan dari Litbang disimpan di ISSFE yang berada dalam kawasan nuklir, sehingga aman dan terkendali.
Kecenderungan pembangunan fasilitas disposal yang terjadi di negara-negara industri nuklir dalam mengantisipasi moto ” NYMBY” adalah di kawasan nuklir yang telah ada.
Penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir sangat dipengaruhi oleh keamanan dan keselamatan pengelolaan limbah radioaktif. Dalam permasalahan ini, umumnya negara-negara industri nuklir melakukan pendekatan secara teknis, namun pendekatan secara sosial masih kurang.

DAFTAR PUSTAKA

TSYPLENKOV V. S., Principles and Components of the Waste Management Infrastructure, IAEA, Regional Training Course, 21 Oct -1 Nov. 1991, Jakarta- Indonesia, (1991).
BENNET B. G., Exposures from Worldwide Release, Environmental Impact of Radioactive Releases, Proceedings of a Symposium, IAEA, Vienna 8 - 12 May, (1995).
ALAN MARTIN., SAMUEL H., An Introduction to Radiation Protection, Third Edition, Chapman and Hall, London, (1986).
International Basic Safet Standard for Protection against Ionizing radiation and for the Safety of Radiation Sources., Safety-Series no. 115, IAEA, Vienna, (1996).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Kesehatan Kerja.
Sk. Kepala BAPETEN No.06/Ka.BAPETEN/V-99., Pembangunan dan Pengopersian Reaktor Nuklir.
Sk. Kepala BAPETEN No.01/Ka. Ka.BAPETEN/VI-99., Pedoman Penentuan Tapak Reaktor Nuklir
Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2000 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion.
Peraturan Pemerintah No.64 Tahun 2000 Tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir.
SK. Ka. BAPETEN No.07-P/Ka.-BAPETEN/I-02, Pedoman Dekomisioining Fasilitas Medis, Industri dan Penelitian Serta Instalasi Nuklir Non Reaktor.
Sk. Ka. BAPETEN No.03/Ka.BAPETEN/99, Ketentuan Keselamatan Untuk Pengelolaan Limbah Radioaktif.
Kep. Ka. BAPETEN No.064-P/Ka-BAPETEN/VI-99, Pedoman Teknis Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Untuk Rencana Pembangunan dan Pengoperasian Instalasi Nuklir dan Instalasi Lainnya.
Safety of Radioactive Waste Management., Proceedings of an International Conference, Cordoba, Spain, 13 - 17 March, (2000).
Regulatory Control of Radioactive Discharge into the Environment, Safety-Series-77, IAEA, Vienna, (1999).
Batas Pelepasan Maksimal (BPM) Pembuangan Zat Radioaktif ke Atmosfer dan Badan-air untuk tiap Instalasi Nuklir di PPTA Serpong, Revisi-1, BKKL-PTPLR, (1991).
LUBIS, E., D. MALLANTS., G. VOLCKAERT., Safety Assessment for a Hyphotetical Near Surface Disposal at Serpong Site, Atom Indonesia Vol. 26, No.2, July 2000.
LUBIS, E., SUCIPTA., Features, Events and Processes (FEP's) dalam Pengkajian Keselamatan Penyimpanan Limbah Tanah Dangkal di S. Muria, Jurnal Teknologi Pengolahan Limbah., 2(2), 1 - 18, ISSN 1410-9565, 1999.
Program Pemantauan Radioaktivitas Lingkungan Daerah PPTN Serpong Dalam Radius 5,0 km, P2PLR, Serpong.
Laporan Pemnatauan Radioaktivitas Lingkungan Daerah PPTN Serpong Dalam Radius 5,0 km, P2PLR, Serpong, (2002).
Kep. Ka. BAPETEN No.06/Ka-BAPETEN/V-99, Pembangunan dan Pengoperasian Reaktor Nuklir.

SIMBOL BARU BAHAYA RADIASI

Teman-teman sejawat radiografer se-Indonesia sudah tahu belum jika ternyata sudah ada Simbol Baru Bahaya Radiasi, ini ada beritanya lho.... mau tahu...

Pada tanggal 15 Pebruari 2007 yang lalu, IAEA bersama-sama dengan the International Organization for Standardization (ISO) meluncurkan simbul atau lambang baru peringatan bahaya radiasi, dengan tujuan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan yang seharusnya tidak terjadi karena radiasi dari sumber radiasi yang besar. Lambang baru tersebut berupa segi tiga merah dengan gambar gelombang radiasi yang keluar dari tanda radiasi baling-baling tiga daun, tengkorak bersilang tulang dan orang yang sedang berlari. Lambang bahaya radiasi ini diluncurkan sebagai tambahan lambang radiasi tradisional berupa baling-baling tiga daun, yang dianggap masih belum mudah dipahami maknanya bagi orang kebanyakan.

Direktur Divisi Radiasi, Tranportasi dan Keselamatan Limbah-IAEA, Eliana Amaral, menyatakan "Saya yakin, karena dua organisasi ternama dunia yang meluncurkan simbul radiasi baru ini, maka masyarakat international akan mau menerima dan berbagai industri swasta maupun pemerintah akan menerapkannya dalam rangka meningkatkan keselamatan, melindungi masyarakat dan lingkungan terhadap bahaya radiasi."

Simbul baru tersebut ditujukan untuk memperingatkan setiap orang dan dimanapun terhadap potensi bahaya apabila berdekatan dengan sumber radiasi pengion. Simbul ini merupakan proyek lima tahun yang melibatkan 11 negara. Simbul telah diuji terhadap berbagai kelompok populasi, berbagai umur, berbagai latar belakang pendidikan, pria maupun wanita, untuk memastikan bahwa mereka semua dengan mudah akan paham dan mengerti akan pesan dari simbul dimaksud, yaitu "menjauhlah – berbahaya" "Kita tidak bisa mengajari dunia tentang radiasi," kata Carolyn MacKenzie, seorang pakar IAEA yang terlibat dalam pengembangan simbul baru tersebut, "akan tetapi kita dapat memperingatkan masyarakat akan bahayanya."

Simbul baru dikembangkan oleh para pakar dan seniman grafis, diujikan oleh Lembaga Gallup terhadap 1650 orang di Brazil, Mexico, Maroko, Kenya, Saudi Arabia, China, India, Thailand, Polandia, Ukraina dan Amerika Serikat.

Simbul baru ditujukan terhadap sumber kategori 1, 2, dan 3 menurut IAEA yang didefinisikan sebagai sumber yang sangat berbahaya yang dapat menyebabkan kematian atau luka berat, seperti iradiator makanan, unit teleterapi, atau unit radiografi. Simbul ditempatkan pada wadah sumber, sebagai peringatan agar tidak membongkar atau berada terlalu dekat. Bisa jadi simbul tidak akan terlihat dalam penggunaan normal, akan tetapi terlihat apabila seseorang akan membongkarnya. Simbul bukan untuk dipasang di pintu masuk, pada paket atau kontainer transportasi. Simbul radiasi baru ini oleh ISO diberi nomor 21482 dan diharapkan oleh Sekjen ISO Alan Bryden secepatnya dapat diadopsi oleh komunitas nuklir internasional.

Jumat, 11 Februari 2011

TIPS SUKSES MENJADI PENGUSAHA OLEH BOB SADINO

Assalamu'alaikum Wr.Wb
Selamat pagi, siang, sore, malam dan subuh. dan salam sejahtera untuk
Kakek, nenek, om, tante, kakak, adik dan rekan-rekan.Kami mendapat informasi yang sangat edukatif guna menjadi seorang pengusaha  dengan tips dari seorang pebisnis sukses, seorang BOB SADINO. Beliau terkenal sebagai seorang pebisnis yang kemana-mana selalu memakai celana pendek. Asik juga tuh jika kita subtitusikan ke dalam dunia Radiology khususnya bagi sahabat radiografer i seluruh indonesia

Tips ini saya didapet dari milis, cuman sekedar penyambung informasi di grup ini agar radiografer bisa jadi pengusaha sukses juga....
Setelah saya telaah, ternyata banyak informasi tentang bisnis yang memang terkadang menjadi batu sandungan bagi kita (yang sudah berani mencoba ataupun baru-mau-akan mencoba) untuk membuat sebuah bisnis.
Semoga layak dibaca dan membantu anda-anda sekalian. Saya JAMIN anda akan minimal sehebat BOB SADINO… Lha wong sudah terbukti.. ) Monggo…
  • Terlalu Banyak Ide
    Orang “Pintar” biasanya banyak ide, bahkan mungkin telalu banyak ide, sehingga tidak satupun yang menjadi kenyataan. Sedangkan orang “bodoh” mungkin hanya punya satu ide dan satu itulah yang menjadi pilihan usahanya
  • Miskin Keberanian untuk memulai
    Orang “bodoh” biasanya lebih berani dibanding orang “Pintar”, kenapa ? Karena orang “bodoh” sering tidak berpikir panjang atau banyak pertimbangan. Dia nothing to lose. Sebaliknya, orang “Pintar” telalu banyak pertimbangan.
  • Telalu Pandai Menganalisis
    Sebagian besar orang “Pintar” sangat pintar menganalisis. Setiap satu ide bisnis, dianalisis dengan sangat lengkap, mulai dari modal, untung rugi sampai break event point. Orang“bodoh” tidak pandai menganalisis, sehingga lebih cepat memulai usaha.
  • Ingin Cepat Sukses
    Orang “Pintar” merasa mampu melakukan berbagai hal dengan kepintarannya termasuk mendapatkahn hasil dengan cepat. Sebaliknya, orang “bodoh” merasa dia harus melalui jalan panjang dan berliku sebelum mendapatkan hasil.
  • Tidak Berani Mimpi Besar
    Orang “Pintar” berlogika sehingga bermimpi sesuatu yang secara logika bisa di capai. Orang “bodoh” tidak perduli dengan logika, yang penting dia bermimpi sesuatu, sangat besar, bahkan sesuatu yang tidak mungkin dicapai menurut orang lain.
  • Bisnis Butuh Pendidikan Tinggi
    Orang “Pintar” menganggap, untuk berbisnis perlu tingkat pendidikan tertentu. Orang “bodoh” berpikir, dia pun bisa berbisnis.
  • Berpikir Negatif Sebelum Memulai
    Orang “Pintar” yang hebat dalam analisis, sangat mungkin berpikir negatif tentang sebuah bisnis, karena informasi yang berhasil dikumpulkannya sangat banyak. Sedangkan orang“bodoh” tidak sempat berpikir negatif karena harus segera berbisnis.
  • Maunya Dikerjakan Sendiri
    Orang “Pintar” berpikir “aku pasti bisa mengerjakan semuanya”, sedangkan orang “bodoh” menganggap dirinya punya banyak keterbatasan, sehingga harus dibantu orang lain.
  • Miskin Pengetahuan Pemasaran dan Penjualan
    Orang “Pintar”menganggap sudah mengetahui banyak hal, tapi seringkali melupakan penjualan. Orang “bodoh” berpikir simple, “yang penting produknya terjual”.
  • Tidak Fokus
    Orang “Pintar” sering menganggap remeh kata Fokus. Buat dia, melakukan banyak hal lebih mengasyikkan. Sementara orang“bodoh” tidak punya kegiatan lain kecuali fokus pada bisnisnya.
  • Tidak Peduli Konsumen
    Orang “Pintar” sering terlalu pede dengan kehebatannya. Dia merasa semuanya sudah Oke berkat kepintarannya sehingga mengabaikan suara konsumen. Orang “bodoh” ?. Dia tahu konsumen seringkali lebih pintar darinya.
  • Abaikan Kualitas
    Orang “bodoh” kadang-kadang saja mengabaikan kualitas karena memang tidak tahu, maka tinggal diberi tahu bahwa mengabaikan kualitas keliru. Sedangkan orang “Pintar” sering mengabaikan kualitas, karena sok tahu.
  • Tidak Tuntas
    Orang “Pintar” dengan mudah beralih dari satu bisnis ke bisnis yang lain karena punya banyak kemampuan dan peluang. Orang“bodoh” mau tidak mau harus menuntaskan satu bisnisnya saja.
  • Tidak Tahu Pioritas
    Orang “Pintar” sering sok tahu dengan mengerjakan dan memutuskan banyak hal dalam waktu sekaligus, sehingga prioritas terabaikan. Orang “bodoh” ? Yang paling mengancam bisnisnyalah yang akan dijadikan prioritas.
  • Kurang Kerja Keras dan Kerja Cerdas
    Banyak orang “bodoh”yang hanya mengandalkan semangat dan kerja keras plus sedikit kerja cerdas, menjadikannya sukses dalam berbisnis. Dilain sisi kebanyakan orang “Pintar” malas untuk berkerja keras dan sok cerdas.
  • Mencampuradukan Keuangan
    Seorang “Pintar” sekalipun tetap berperilaku bodoh dengan dengan mencampuradukan keuangan pribadi dan perusahaan.
  • Mudah Menyerah
    Orang “Pintar” merasa gengsi ketika gagal di satu bidang sehingga langsung beralih ke bidang lain, ketika menghadapi hambatan. Orang “bodoh” seringkali tidak punya pilihan kecuali mengalahkan hambatan tersebut.
  • Melupakan Tuhan
    Kebanyakan orang merasa sukses itu adalah hasil jarih payah diri sendiri, tanpa campur tangan “TUHAN”. Mengingat TUHAN adalah sebagai ibadah vertikal dan menolong sesama sebagai ibadah horizontal.
  • Melupakan Keluarga
    Jadikanlah keluarga sebagai motivator dan supporter pada saat baru memulai menjalankan bisnis maupun ketika bisnis semakin menguras waktu dan tenaga.
  • Berperilaku Buruk
    Setelah menjadi pengusaha sukses, maka seseorang akan menganggap dirinya sebagai seorang yang mandiri. Dia tidak lagi membutuhkan orang lain, karena “merasa” sudah mampu berdiri diats kakinya sendiri.
Semoga dengan tip ini bisa menambah inspirasi bagi sahabat radiografer di seluruh Indonesia. amien.....

Wassalamu'alaikum....